Showing posts with label Dayak Kalimantan. Show all posts
Showing posts with label Dayak Kalimantan. Show all posts

J.C Oevaang Oeray

Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Dayak dengan sebutan Oevaang Oeray, Oevaang Oeray adalah salah seorang pemimpin suku dayak yang sebagai pendiri Partai Persatuan Dayak (PPD) yang pernah mengikuti Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 dan 1958. Meninggal di Pontianak, 17 Juli1986 pada umur 63 tahun. Oevaang Oeray adalah Gubernur Kalimantan Barat yang menjabat pada periode 1960-1966 dan merupakan Gubernur Kalbar pertama dari kalangan Suku Dayak. Dia juga menekankan kedaulatan setiap agama yang dijamin oleh kebebasan beragama sebagai salah satu hak yang paling mendasar, dan menolak pula kontrol atas praktik keagamaan oleh negara dalam bentuk apapun.
Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray lahir di Kedamin, Kapuas Hulu pada tanggal 18 Agustus 1922. Ayah dan ibunya bernama Ledjo dan Hurei yang beragama Katolik. Kedua orang tuanya berasal dari suku Dayak yang bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Ding Oeray, Mering Oeray dan Tepo Oeray. Pertama-tama sekali ia bekerja adalah menjadi seorang guru. Dan kemudian, pada tahun 1941 para guru sekolah Katolik Se-Kalimantan Barat berkumpul di Sanggau mengadakan retret (rekoleksi) tahunan.
Saat retret berlangsung, seorang murid seminari di Nyarumkop, Oevaang Oeray, menulis surat terbuka kepada para peserta rekoleksi. Isinya mengajak para guru memikirkan perbaikan nasib masyarakat Dayak yang terus dalam kondisi memprihatinkan. Di antara pemikiran diajukan, antara lain agar perbaikan nasib orang Dayak dilakukan melalui perjuangan organisasi politik.
Gagasan yang dikemukakan Oevaang Oeray ini mampu memberikan inspirasi para peserta, pada penutupan rekoleksi yang dipimpin AF Korak, JR Gielling Laut, dan M Th Djaman, melahirkan kebulatan tekad membentuk organisasi yang berfungsi memperjuangkan nasib Dayak di forum politik.

Keadaan seusai kemerdekaan Sejarah Kalimantan Barat (1945-1950).
Inilah embrio Partai Persatuan Dayak, didahului pembentukan Dayak In Action (DIA) dengan ketuanya adalah Fransiskus Conradus Palaoensoeka dan pastor Adikarjana.
Kemudian, pusat partai ini dipindahkan ke Pontianak dan diubah namanya menjadi PPD pada 1 November 1945 dan menjadi suatu wadah kebangkitan Dayak pada 3 November 1945, sekitar 74 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. DIA tak terpisahkan dari pernyataan kebulatan tekad yang tercetus di Sanggau pada 1941. karena itu maka merupakan tonggak sejarah perjuangan dan kebangkitan Dayak.
Sewaktu Sultan Hamid II membuat DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), pejuang Kalbar yang sifatnya unitarianisme menganggap bahwasanya PPD dibuat untuk keuntungan NICA agar dapat menguasai Kalbar lagi. Kebetulan Oevaang Oeray dalam DIKB mendapat bagian dalam Dewan Pemerintahan Harian bersama keempat orang lainnya, yakni A.P. Korak (Dayak), Mohammad Saleh (Melayu), Lim Bak Meng (Tionghoa), dan Nieuwhusjsen. Lewat tokoh semacam Oevaang Oeray, ekspedisi TNI yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis masuk ke dalam tokoh Kalimantan Barat lain. J.C. Oevaang Oeray dan tokoh-tokoh lain bertindak sebagai panitian penyambut pendaratan pasukan TNI di Pontianak. A.H. Bohm, seorang tokoh Belanda yang menjadi sekretaris dan sempat menjadi residen Sambas, mengutip sikap politik Oevaang Oeray sebagai tokoh masyarakat dari kalangan Suku Dayak terhadap bentuk NKRI. Bohm mengutip tulisan dari Majalah Suar, terbitan Departemen Penerangan yang terdapat disitu Surat Terbuka yang dikirim kepada semua cabang di Persatuan Dayak.

Berkata Bohm:
"Dalam surat itu, Oevaang Oeray menekankan pentingnya pemeliharaan ketentraman dan ketertiban yang ia pandang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat. Ia memperingatkan agar waspada terhadap provokator-provokator dan penyebar isu-isu menyesatkan"

Isi surat itu kurang lebih seperti ini:
"Saya berulang kali berkata, bila kalian takut dengan kata-kata bahwa apabila kita merdeka, maka kalian orang-orang Dayak akan dibunuh semua, Pejabat Dayak akan diberhentikan dan kalian serta kita semua orang Dayak akan menjadi budak manakala Tentara Nasional Indonesia dan Republik Indonesia datang ke sini, dan kalian dibunuh, ditangkap, atau diperlakukan semacam itu, maka kabar itu jangan dipercaya. Laporkan hal itu kepada Polisi atau Tentara Nasional Indonesia."

Kemudian pada 22 Juni 1959, Oeray dilantik menjadi Kepala Daerah Swatantra Tk. 1 oleh Sekretaris Jenderal Dalam Negeri dan Otonomi Daerah R.M. Soeparto menggantikan Mendagri. Pada sidang DPRD Tk I Kalbar, Oevang Oeray berhasil terpilih sebagai Gubernur KDH Tk.I Kalbar yang disahkan oleh Keppres No.465/1959, tanggal 24 Desember 1959 untuk periode 1 Januari 1960-12 Juli 1966. Pelantikannya berlangsung pada 30 Januari 1960 oleh Mendagri, pada saat itu Mendagri digantikan oleh Roehadi Wihardja.
Masa pemerintahan Oevaang pernah mengalami kejadian yang tidak terlalu bagus. Sebagai contoh kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam mengikuti pemilu 1955, dengan 146.054 suara dan 1958 mengundang reaksi. Contohnya: Orang-orang Melayu menuduh Oevaang Oeray melakukan praktik pilih kasih dalam pengangkatan pegawai. Ini dikarenakan pada zaman penjajahan, Suku Dayakdianggap rendah dan dikucilkan oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu. Sehingga, tindakannya ini dilatarbelakangi dengan niatannya untuk mengangkat derajat Suku Dayak. Hal ini membuatnya dituntut mundur pada awal 1965, dan ia dituntut turun dari jabatan gubernurnya karena hal tersebut dan selain itu, ia dituduh telah menciptakan perpecahan etnis.
Ipik Gandamana menyerahkan secara riil urusan Pemerintahan Umum Pusat kepada daerah pada 1959. Di awal pemerintahannya ini, terjadi upaya menghilangkan dualisme di bidang pemerintahan. Salah satunya dengan penyerahan secara riil urusan Pemerintahan Umum Pusat kepada daerah pada 1959. Penyerahan dilakukan Menteri Dalam Negeri ketika itu, yakni Ipik Gandamana sebagai wakil pemerintah pusat kepada gubernur. Pada saat bersamaan dinyatakan bahwa seluruh kawedanan di Kalbar dihapuskan.
Selain itu, Partai Persatuan Dayak mengalami kemunduran. Yang mana, ini disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik di tubuh internal partai. Pada tahun 1960-an, PD mengalami perpecahan dan menjadi dua fraksi. Fraksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Fraksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Pada 1964, Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga mengambil kontrol secara keseluruhan Kalimantan Barat sebagai komando angkatan tugas, tapi pada waktu Konfrontasi ini merupakan tahap akhir dan dia menjadi korban pergolakan politik pada Oktober 1965. Kemudian pada September 1965, tibalah surat kawat dari istrinya yang memintanya untuk pulang ke Jakarta. Sesungguhnya, Syam Kamaruzaman-lah yang menyuruh istri Supardjo mengirim surat kepadanya. Akibatnya, dia digantikan oleh A.J.Winoto. Dia ikut berpartisipasi dalam pemusnahan gerilyawan yang berada di sepanjang perbatasan Sarawak. Gubernur yang membantu Winoto saat Revolusi Brunei adalah Oeray. Dan Winoto juga sama-sama anggota Partindo dengan Oevaang Oeray.
Barulah, pada tahun 1965, perpolitikan Dayak di bawah Partindo mengalami kemunduran tahun 1965. Lalu atas inisiatif komando militer setempat, Partindo bergabung dengan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai yang didominasi orang-orang Melayu. Adanya fusi itu membuat orang Melayu terancam, karena orang-orang Dayak mulai menguasai struktur. Lalu tiba-tiba, pada tahun 1968 ada kebijakan bahwa orang-orang eks Partindo di IPKI harus dibubarkan. Tetapi permintaan itu ditolak oleh pengurus IPKI pusat. Sejak saat itu, hubungan antara Dayak dan Melayu menjadi retak.

Difitnah dan turun dari jabatan
Oeray merupakan orang yang dekat dengan Soekarno/Soekarnois. Setelah insiden pembunuhan 6 jenderal di Jakarta, ia dituding sebagai tokoh politik yang terlibat PKI. Padahal menurut evaluasi Kementerian Luar Negeri, Oevaang Oeray bukanlah simpatisan PKI, melainkan anggota Partindo yang sering dideskribsikan sebagai kelompok sayap kiri. Di masa itu selain anggota PPD yang dihabisi oleh Soekarno, banyak pula PNS Dayak yang diberhentikan dengan tuduhan terlibat PKI. Pada tanggal 12 Juli 1966 Mendagri, Basuki Rachmat memberhentikan dengan hormat Oevaang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Oeray diberhentikan lebih cepat 2 bulan 10 hari sebelum habis masa jabatannya, karena keputusan pemberhentian dengan hormat dari presiden baru turun 22 September 1966, dengan Nomor 207 Tahun 1966.
Dasar hukum pemberhentian Oevaang Oeray ini adalah keputusan No.UP.12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966 memberhentikan dengan hormat J.C Oevang Oeray selaku Gubernur Kepala Daerah Kalbar dan menunjuk Letkol Soemadi BcHK sebagai gubernur baru. Guna mencari gubernur baru secara definitif, maka DPRD GR Kalbar dalam sidangnya pada tanggal 18 Juli 1966 menetapkan dua orang calon gubernur, masing- masing Kol.CHK Soemadi BCHK serta F.C Palaunsoeka.
Akhirnya Presiden RI mengangkat Kol CHK Soemadi BCHK sebagai Gubernur Kalbar Tingkat I melalui SK Presiden No 88 tanggal 1 Juli 1967. Pemberhentian Gubernur Oevang Oeray berdasarkan SK Presiden RI No 207 tanggal 22 September. Dengan demikian pemberhentian berdasarkan SK Mendagri Basuki Rahmat tersebut didahului SK Presiden. Pelantikan gubernur baru itu dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1967 pada Sidang Istimewa DPRD GR Kalbar dan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Depdagri, Mayjen TNI Soenandar Prijosudarmo.
Partai Persatuan Dayak (PPD)

Partai Persatuan Dayak (PPD)

PPD atau Partai Persatuan Dayak adalah sebuah partai politik di Indonesia. yang dibentuk untuk mewakili kepentingan masyarakat Dayak pada saat itu, dan partai ini juga salah satu partai politik di Indonesia yang beberapa waktu terbentuk sepanjang garis etnis. Oevaang Oeray, Gubernur pertama Kalimantan Barat dan salah satu pendiri PPD, adalah tokoh partai. Pada tanggal 30 Oktober 1945, asosiasi Daya in Action telah dibentuk di Putussibau.
Banyak dari pendiri gerakan ini adalah guru, dan pemimpinnya F.C. Palaunsoeka adalah seorang guru sekolah sendiri. Pastor Jawa A. Adikardjana memainkan peran penting dalam landasan gerakan. Setahun setelah berdirinya, asosiasi berevolusi menjadi PPD.
Pada bulan Oktober 1946, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menunjuk tujuh PPD anggota Dewan Kalimantan Barat (yang memiliki 40 kursi pada total). Setengah dari anggota dewan administratif Daerah Khusus Kalimantan Barat berasal dari PPD; Oevaang Oeray, Lim Bak Meng (orang Cina Katolik) dan AF Korak.
Pada saat itu, PPD mengambil posisi ambivalen terhadap Belanda. Ini dicari kerjasama dengan NICA dalam rangka memperkuat posisinya, tapi pada kesempatan menggunakan waktu yang sama untuk mengkritik 'gangguan' Belanda dalam urusan Dayak.
Pada tahun 1950, Partai Dayak kekurangan dana untuk kongres partai. Lim Bak Meng membuat sebuah perusahaan perdagangan kecil, tapi perusahaan ini tidak sukses yang namanya NV Tjemara. Perusahaan ini ia buat untuk mendanai kongres Partai Dayak pada tahun itu. Partai ini sudah melakukan 2 upaya lain, yakni mengharapkan bantuan relawan dan membuat suatu kebijakan lain, yakni 3 persen PNS Dayak disuruh untuk memberikan 3% gaji mereka untuk pendanaan ini.
Pada Pemilu parlemen 1955, PPD mendapat 146.054 suara (0,4% suara nasional), dan mendapat satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dari Kalimantan Barat. Partai ini memperoleh 33,1% suara pada Kalimantan Barat, menjadi partai terbesar kedua di daerah (setelah Masjumi). Namun di Kalimantan Selatan (waktu itu masih bersama Kalimantan Tengah sebelum pemekaran tahun 1957), partai ini hanya mendapat 1,5% dari suara populer (di daerah Kalimantan Tengah yang didominasi Dayak partai menerima 6,2% suara). Dalam pemilihan dewan provinsi Kalimantan Barat pada tahun yang sama, PPD memenangkan sembilan dari 29 kursi.
Pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan larangan terhadap partai politik yang bersifat etnis, dan PPD dibubarkan setelah adanya larangan tersebut. Beberapa politisi PPD melanjutkan karier mereka pada partai lain setelah larangan itu. Oevaang Oeray bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), sementara beberapa yang lain bergabung dengan Partai Katolik.
Selain itu, Partai Dayak mengalami kemunduran. Yang mana, ini disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik di tubuh internal partai. 
Pada tahun 1960-an, PPD mengalami perpecahan dan menjadi dua faksi. Faksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Faksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik.

Tokoh-tokoh berpengaruh yang berpengaruh pada saat itu:
J.C. Oevaang Oeray, Pendiri Partai Persatuan Dayak & gubernur Kalbar pertama
Hausman Baboe, Tokoh Pendiri Kalteng, tokoh Pers Kalteng & pendiri harian "Suara Dayak"
F.C. Falaoensoeka, Tokoh politisi Partai persatuan Dayak dan Tokoh Pendiri harian Kompas
G.P. Jaung
Jeranding Abdurrahman
Partai Persatuan Dayak (PPD)

Partai Persatuan Dayak (PPD)

PPD atau Partai Persatuan Dayak adalah sebuah partai politik di Indonesia. yang dibentuk untuk mewakili kepentingan masyarakat Dayak pada saat itu, dan partai ini juga salah satu partai politik di Indonesia yang beberapa waktu terbentuk sepanjang garis etnis. Oevaang Oeray, Gubernur pertama Kalimantan Barat dan salah satu pendiri PPD, adalah tokoh partai. Pada tanggal 30 Oktober 1945, asosiasi Daya in Action telah dibentuk di Putussibau.
Banyak dari pendiri gerakan ini adalah guru, dan pemimpinnya F.C. Palaunsoeka adalah seorang guru sekolah sendiri. Pastor Jawa A. Adikardjana memainkan peran penting dalam landasan gerakan. Setahun setelah berdirinya, asosiasi berevolusi menjadi PPD.
Pada bulan Oktober 1946, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menunjuk tujuh PPD anggota Dewan Kalimantan Barat (yang memiliki 40 kursi pada total). Setengah dari anggota dewan administratif Daerah Khusus Kalimantan Barat berasal dari PPD; Oevaang Oeray, Lim Bak Meng (orang Cina Katolik) dan AF Korak.
Pada saat itu, PPD mengambil posisi ambivalen terhadap Belanda. Ini dicari kerjasama dengan NICA dalam rangka memperkuat posisinya, tapi pada kesempatan menggunakan waktu yang sama untuk mengkritik 'gangguan' Belanda dalam urusan Dayak.
Pada tahun 1950, Partai Dayak kekurangan dana untuk kongres partai. Lim Bak Meng membuat sebuah perusahaan perdagangan kecil, tapi perusahaan ini tidak sukses yang namanya NV Tjemara. Perusahaan ini ia buat untuk mendanai kongres Partai Dayak pada tahun itu. Partai ini sudah melakukan 2 upaya lain, yakni mengharapkan bantuan relawan dan membuat suatu kebijakan lain, yakni 3 persen PNS Dayak disuruh untuk memberikan 3% gaji mereka untuk pendanaan ini.
Pada Pemilu parlemen 1955, PPD mendapat 146.054 suara (0,4% suara nasional), dan mendapat satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dari Kalimantan Barat. Partai ini memperoleh 33,1% suara pada Kalimantan Barat, menjadi partai terbesar kedua di daerah (setelah Masjumi). Namun di Kalimantan Selatan (waktu itu masih bersama Kalimantan Tengah sebelum pemekaran tahun 1957), partai ini hanya mendapat 1,5% dari suara populer (di daerah Kalimantan Tengah yang didominasi Dayak partai menerima 6,2% suara). Dalam pemilihan dewan provinsi Kalimantan Barat pada tahun yang sama, PPD memenangkan sembilan dari 29 kursi.
Pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan larangan terhadap partai politik yang bersifat etnis, dan PPD dibubarkan setelah adanya larangan tersebut. Beberapa politisi PPD melanjutkan karier mereka pada partai lain setelah larangan itu. Oevaang Oeray bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), sementara beberapa yang lain bergabung dengan Partai Katolik.
Selain itu, Partai Dayak mengalami kemunduran. Yang mana, ini disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik di tubuh internal partai. 
Pada tahun 1960-an, PPD mengalami perpecahan dan menjadi dua faksi. Faksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Faksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik.

Tokoh-tokoh berpengaruh yang berpengaruh pada saat itu:
J.C. Oevaang Oeray, Pendiri Partai Persatuan Dayak & gubernur Kalbar pertama
Hausman Baboe, Tokoh Pendiri Kalteng, tokoh Pers Kalteng & pendiri harian "Suara Dayak"
F.C. Falaoensoeka, Tokoh politisi Partai persatuan Dayak dan Tokoh Pendiri harian Kompas
G.P. Jaung
Jeranding Abdurrahman
Penyebaran Suku Dayak Kanayatn

Penyebaran Suku Dayak Kanayatn

Artikel kali ini adalah artikel yang akan mengupas sejarah singkat penyebaran suku dayak kanayatn, khususnya suku dayak yang ada di Kalimantan Barat.
Penelitian tradisi lisan Dayak Kanayatn ini disebut Tradisi Lisan Binua Talaga. Menurut hasil pegamatan dan penelitian, rekaman tradisi, cerita, kisah, isu-isu, diketahui bahwa masyarakat Dayak Kanayatn yang berasal dari Bukit Talaga Kecamatan Sengah Temila mempunyai sejarah asal usul tentang terjadinya orang Dayak atau Talino (Manusia dibumi).
Sejarah dapat dilihat berawal dari kisah cerita Ne' Baruakng Kulup (salah satu versi cerita) yang menurunkan padi dari atas langit, ke bumi. Ne' Baruakng adalah anak Ne' Ja'ek, yang berjasa memperoleh tangkai padi untuk pertama kalinya dari seekor burung pipit, yang membawangnya diantara dua buah batu badangkop ( batu kembar) dan sekarang dapat ditemui dibukit Talaga. 
Alkisah, mereka tinggal diatas (langit). Ne' Baruakng ini yang sering turun ke bumi berkomunikasi dengan mahluk di bumi, pada suatu hari Ne' baruakng melihat mereka (penduduk bumi) makan kulat karakng (cendawan), yang sangat asing baginya. Secara kebetulan pula Ne' Baruakng waktu di bumi membawa butir butir putih ( yang kemudian dikenal dengan nasi).
Keadaan ini terlihat oleh mahluk di bumi. Mereka meminta dan memakannya. Singkat kata, sejak saat itulah Ne' Baruakng lalu memperkenalkan padi di Bumi. Sejak itu pula mahluk dibawah (bumi) mulai makan nasi dan meninggalkan cendawan kerang. Kepercayaan masyarakat Talaga bahwa asal Dayak, khususnya Kanayatn (mereka sebut pula dengan Dayak Bukit) adalah atas, tempat yang serba menyenangkan dan dikenal dengan sebutan Bawakng. Karenanya, dalam setiap bentuk upacara adat para tokoh Dayak ini tidak melupakan sebuatan Bawakng ini, yang menyatakan sumber atau asal usul Dayak Kanayatn. Nampaknya tempat inilah dulunya yang merupakan asal usul keluarga Ne' Baruakng, yang sudah menjadi Talino (manusia). Melihat bukti sejarah, seperti batu badangkopdi bukit Telaga dapat diketahui bahwa Talaga adalah bagian dari tempat diatas (langit) atau Bawakng. Salah satu contoh dari penyebaran Dayak Kanayatn ini adalah, Dayak Kanayatn yang bermukim di Binua Talaga yang terdapat di kecamatan Sengah Temila kini menyebar kebeberapa Kampung, seperti Sahamp, Palo'atn, Aur Sampuk, Sinakin, Gombang dan sekitarnya.

Bahasa Dayak Kananyatn

Bahasa Dayak Kanayatn yang akan saya bahas kali ini adalah bahasa dayak yang ada di Kalimantan barat, adapun bahasa yang digunakan oleh suku dayak kanayatn adalah sebagai berikut. Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Kanayatn adalah bahasa ahe / nana' serta damea / jare dan yang serumpun.
Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan.
Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngalampa, songga batukng-ngalampa dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti, bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.








Sistem Religi Suku Dayak

Dari setiap suku yang ada didunia ini termasuk yang ada di pulau Kalaimantan, pasti memiliki kepercayaan atau memliki cara khusus untuk melakukan persembahan kepada sang pencipta.
Sebelum nenek moyang jaman dahulu lahir, mungkin saja mereka belum mengenal Siapa Tuhan dan apa makna gereja atau Mesjid yang kita kenal saat ini. Dan hebatnya, walaupun mereka belum mengenal Tuhan, mereka sudah memeliki sebuah kepercayaan sendiri, khususnya dayak kanayatn, nama sang pencipta dalam bahasa dayak kanayatn adalah jubata. Siapa Jubata?, jika diartikan menurut pengetahuan kita dijaman sekarang ini, Jubata adalah Tuhan atau sang pencipta. 
Walaupun pada saat itu nenek moyang kita belum mengenal Tuhan, mereka tetap memegang teguh sifat kemanusiaan, saling menjaga dan melestarikan apa yang mereka miliki. Dan kepercayaan Dayak kanayatn tidak terlepas dari adat istiadat yang kita kenal sampai sekarang atau bahkan dapat dikatakan sebagai adat menegaskan identitas religius mereka pada saat itu, mereka tidak mengenal gereja tetapi mereka tidak lupa untuk selalu mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas rejeki yang yang telah diberikan oleh Jubata. Untuk mengucapkan rasa syukur, dayak kanayatn memiliki tempat khusus yang digunakan sebagai tempat penyembahan kepada sang pencipta atau Jubata. Yang dimaksud tempat khusus diatas kalau diartikan dalam bahasa dayak, tempat penyembahan disebut dengan panyugu.


Siapakah Dayak Kanayatn

Siapakah Dayak Kanayatn, dari beberapa suku yang ada di pulau Kalimantan, suku yang paling banyak adalah suku Dayak. Yang terbagi atas sekian ratus sub suku yang berada atau mendiami pulau Kalimantan. Dan berikut ini adalah pendapat para ahli pada masa itu yang melihat langsung atau mengamati langsung suku-suku yang ada di Kalimantan.
Menurut H.J. Mallinckrodt (1928), Dayak Kanayatn dikelompokan ke dalam golongan rumpun Land Dayak-Klemantan. kemudan C.H. Duman (1929) juga memberikan pendapatnya mengenai suku dayak kanayatn, dalam pernyataannya ia menyebutkan bahwa Dayak Kanayatn adalah bagian dari Rumpun Ot Danum, Ma'anyan, Dayak Ngaju. Sedangkan menurut W. Stohr (1959), menyalahkan pendapat C.H. Duman, karena jika dilihat dari wilayah, bahasa, serta hukum adat, suku Dayak Kanayatn tidak menunjukan adanya hubungan dengan kelompok Rumpun Ot Danum, Maanyan, Ngaju. Karena menurut W.Stohr suku Dayak lebih mengarah pada kelompok Dayak Klemantan, bahkan pemberian nama nama Kabupatenpun didasarkan pada masyarakat mayoritas yang ada di Kalimantan, yaitu Dayak Kanayatn yang merupakan bagian dari rumpun Dayak Darat, dalam ejaan Belanda (Land Djak). Tutur W. Stohr.
Untuk Pakaian Tradisional adat dayak kanayatn, hamper keseluruhan acc yang digunakan, muali dari atas sampai bagian bawah, semua terbuat dari kulit kayu, dan sedikit tambahan bulu burung (Burung Ruai) sebagai hiasan dari pengikat kepala (tangkulas dalam bahasa dayak), yang kemudian didesign menyerupai Rompi, dan untuk nama pakaian tradisional yang dari kulit kayu ini diberi nama Baju Marote atau baju Uncit. Untuk melengkapi dari pakaian tsb khususnya untuk pria, pakaian adat dipadukan dengan senjata tradisional adat dayak dan ditambah dengan sebuah tameng yang terbuat dari kayu.