Hampir tak ada yang bisa merenggut kecintaan masyarakat Argentina kepada Diego Armando Maradona. Bagaimanpun liar cara hidupnya, sebanyak apapun heroin yang dihisapnya, berapa banyakpun anak yang kemudian mmengaku jadi putra biologisnya, hingga seberat apapun bobot tubuhnya, Argentina tak akan meninggalkannya.
Meskipun begitu, jangan sampai El Dio (Sang Dewa) melakukan satu hal. Yaitu, merusak apa yang sebelumnya secara gemilang pernah dibangunnya: kejayaan Sepakbola Argentina. Jiak itu dilakukan, seluruh Argentina tak segan menghabisinya. Itulah yang terjadi pada oktober 2009. Setelah kalah diempat pertandingan Pra-Piala Dunia dan terancam tidak lolos ke Piala Dunia 2010, publik Argentina ramai-ramai menuntu Diego Maradona mundur dari kursi kepelatihannya.
Sepakbola, lebih-lebih di Negara seperti Argentina atau Brazil (yang tak memilik hal lain yang bisa dibanggakan selain permainan indah itu), adalah segala-galanya. Ditempat seperti di Argentina atau Brazil, sepakbola bukan semata permainan, apalagi sekadar alat mendapatkan kesenangan. Sepakbola adalah tujuan hidup mereka. Pada saat kehidupan sehari-hari sama sekali tak memberi harapan, maka kepada sepakbola semua asa ditumpahkan.
“Saat menang, mereka lupa segala masalah mereka. Mereka bahagia, lalu pesta pora. Namun saat mereka kalah, mereka merasa tak berguna dan merasa mereka ditakdirkan untuk gagal, tidak hanya dalam sepakbola, tapi dalam segala hal.” Alex Bellos, Penulis buku Futebol: Soccer, the Brazilian Way.
***
Sepakbola diakui telah mengalahkan lambang negara, bendera, bahasa, hingga warna kulit, untuk menjadi alat identifikasi dari sebuah kumpulan massa, atau bahkan sebuah bangsa. “Komunitas yang dibayangkan oleh berjuta-juta orang tampak jauh lebih nyata dalam sebuah tim yang terdiri atas sebelas orang.” Eric Hobsbawm, Sejarawan Kondang
Sebagai alat identifikasi sebuah kumpulan massa, apalagi massa tersebut adalah sebuah bangsa, sebelas orang menjadi bagian dari tim sepakbola menghadapi kenyataan pelik dari para pendukungnya. Pertama, mereka dituntut untuk selalu tampil sempurna. Kedua, seperti umumnya kumpulan massa, para pendukung tim sepakbola memilih berpikir sederhana.
Sebagai pemuja kesempurnaaan, para pendukung tim sepakbola membenci kekalahan. Meskipun demikian, yang paling tidak bisa mereka terima adalah kelemahan. Konsekuensi paling logis. Dari kecenderungan ini adalah mudahnya mereka menimpakan kesalahan kepada pihak lain atas ketidaksempurnaan yang mereka (atau tim yang mereka dukung) dapatkan. Namun, bentuk paling ekstrim dari fakta psikologis semacam ini adalah munculnya pihak yang dikambinghitamkan. Dan disinilah sejarah Piala Dunia mencatat nama-nama seperti Moachir Barbosa, David Ginola, dan David Beckham. Dari sini pula, dunia sepakbola, lebih-lebih ajang seperti Piala Dunia, selalu saja melahirkan “teori konspirasi”-nya sendiri.
Disisi lain, cara berpikir sederhana seperti itu tidak memberi ruang pendalaman dan perenungan. Dunia, bagi pendukung tim sepakbola (baik dilevel klub atau internasional), hanya terbagi menjadi dua bagian: kalah dan menang, hitam dan putih, si menang dan si kalah, pahlawan dan penjahat. Para pendukung tim sepakbola tidak mengenal area abu-abu. Jika kalimat klise “menang dan kalah dalam sepakbola adalah hal biasa” benar, tentu tak ada kesedihan massal rakyat Brazil pascakekalahan di final Piala Dunia 1950.
***
Buku ini tidak berisi daftar kriminal. Bahkan, jika anda memandang dari sudut lain, malah hampir mendekati buku tentang para pahlawan. Sebab, kebanyakan para penjahat yang masuk daftar ini memiliki sisi kepahlawanannya sendiri. Atau, malah amat mungkin, mereka menjadi penjahat karena mereka pada dasarnya adalah pahlawan (yang tidak sempurna); atau, paling tidak, para penjahat itu adalah mereka yang sebelumnya diharapkan menjadi pahlawan.
Moachir Barbosa adalah contohnya. Kipper Brazil pada Piala Dunia 1950 ini hanya membutuhkan sebuah penyelamatan untuk mengukuhkan namanya menjadi salah satu pahlawan sepakbola terbesar Brazil. Namun, dia gagal. Dan, itu langsung membalikan peruntungannya: dari “calon pahlawan yang dipuja” menjadi “penjahat yang paling dibenci”.
Demikian juga Roberto Rojas dari Chile, David Ginola dari Perancis, hingga Diego Armando Maradona dari Argentina. Mereka, pada dasarnya, adalah para pahlawan yang mengalami kegagalan. Dan dari situlah, sebagian besar para “penjahat” (dengan tanda petik) dalam buku ini dilahirkan.
Sumber Artikel: Buku Football Villains