Bahasa Dayak Kananyatn

Bahasa Dayak Kanayatn yang akan saya bahas kali ini adalah bahasa dayak yang ada di Kalimantan barat, adapun bahasa yang digunakan oleh suku dayak kanayatn adalah sebagai berikut. Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Kanayatn adalah bahasa ahe / nana' serta damea / jare dan yang serumpun.
Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan.
Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngalampa, songga batukng-ngalampa dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti, bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.








Sistem Religi Suku Dayak

Dari setiap suku yang ada didunia ini termasuk yang ada di pulau Kalaimantan, pasti memiliki kepercayaan atau memliki cara khusus untuk melakukan persembahan kepada sang pencipta.
Sebelum nenek moyang jaman dahulu lahir, mungkin saja mereka belum mengenal Siapa Tuhan dan apa makna gereja atau Mesjid yang kita kenal saat ini. Dan hebatnya, walaupun mereka belum mengenal Tuhan, mereka sudah memeliki sebuah kepercayaan sendiri, khususnya dayak kanayatn, nama sang pencipta dalam bahasa dayak kanayatn adalah jubata. Siapa Jubata?, jika diartikan menurut pengetahuan kita dijaman sekarang ini, Jubata adalah Tuhan atau sang pencipta. 
Walaupun pada saat itu nenek moyang kita belum mengenal Tuhan, mereka tetap memegang teguh sifat kemanusiaan, saling menjaga dan melestarikan apa yang mereka miliki. Dan kepercayaan Dayak kanayatn tidak terlepas dari adat istiadat yang kita kenal sampai sekarang atau bahkan dapat dikatakan sebagai adat menegaskan identitas religius mereka pada saat itu, mereka tidak mengenal gereja tetapi mereka tidak lupa untuk selalu mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas rejeki yang yang telah diberikan oleh Jubata. Untuk mengucapkan rasa syukur, dayak kanayatn memiliki tempat khusus yang digunakan sebagai tempat penyembahan kepada sang pencipta atau Jubata. Yang dimaksud tempat khusus diatas kalau diartikan dalam bahasa dayak, tempat penyembahan disebut dengan panyugu.


Siapakah Dayak Kanayatn

Siapakah Dayak Kanayatn, dari beberapa suku yang ada di pulau Kalimantan, suku yang paling banyak adalah suku Dayak. Yang terbagi atas sekian ratus sub suku yang berada atau mendiami pulau Kalimantan. Dan berikut ini adalah pendapat para ahli pada masa itu yang melihat langsung atau mengamati langsung suku-suku yang ada di Kalimantan.
Menurut H.J. Mallinckrodt (1928), Dayak Kanayatn dikelompokan ke dalam golongan rumpun Land Dayak-Klemantan. kemudan C.H. Duman (1929) juga memberikan pendapatnya mengenai suku dayak kanayatn, dalam pernyataannya ia menyebutkan bahwa Dayak Kanayatn adalah bagian dari Rumpun Ot Danum, Ma'anyan, Dayak Ngaju. Sedangkan menurut W. Stohr (1959), menyalahkan pendapat C.H. Duman, karena jika dilihat dari wilayah, bahasa, serta hukum adat, suku Dayak Kanayatn tidak menunjukan adanya hubungan dengan kelompok Rumpun Ot Danum, Maanyan, Ngaju. Karena menurut W.Stohr suku Dayak lebih mengarah pada kelompok Dayak Klemantan, bahkan pemberian nama nama Kabupatenpun didasarkan pada masyarakat mayoritas yang ada di Kalimantan, yaitu Dayak Kanayatn yang merupakan bagian dari rumpun Dayak Darat, dalam ejaan Belanda (Land Djak). Tutur W. Stohr.
Untuk Pakaian Tradisional adat dayak kanayatn, hamper keseluruhan acc yang digunakan, muali dari atas sampai bagian bawah, semua terbuat dari kulit kayu, dan sedikit tambahan bulu burung (Burung Ruai) sebagai hiasan dari pengikat kepala (tangkulas dalam bahasa dayak), yang kemudian didesign menyerupai Rompi, dan untuk nama pakaian tradisional yang dari kulit kayu ini diberi nama Baju Marote atau baju Uncit. Untuk melengkapi dari pakaian tsb khususnya untuk pria, pakaian adat dipadukan dengan senjata tradisional adat dayak dan ditambah dengan sebuah tameng yang terbuat dari kayu.

Enggang Gading (Rhinoplax vigil)


Enggang Gading adalah burung berukuran besar dari keluarga Bucerotidae.
Burung yang menjadi maskot Provinsi Kalimantan Barat ini adalah jenis fauna yang dilindungi undang-undang. Enggang adalah burung yang terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Asia dan Afrika.
Dalam Budaya Dayak BORNEOEnggang Gading diwujudkan dalam bentuk sebuah ukiran.
Ciri-ciri:

  • Hidup berkelompok (2 sampai 10)
  • Suara sangat khas dan nyaring
  • Musim bertelur dari bulan April-Juli 

Maraknya perburuan dan pengerusakan hutan di Pulau Borneo yang terus-menerus dilakukan, seperti penebangan hutan baik illegal logging maupun untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit dan sejenisnya yang bertentangan dengan pelestarian alam, serta perburuan yang dilakukan masyarakat sekitar. Menyebabkan Borneo kehilangan Hartanya. 
Tafsiran harga mengenai harga burung Enggang Gading ini, dihargai dengan harga persatu kepala burung Enggang Rp. 2,5 juta. Karena harganya yang mahal banyak warga pedalaman berlomba berburu burung tersebut. 
Akhir kata BORNEO hanya ingin menambahkan sedikit mengenai nasib burung Enggang Gading ini, "Nasib burung enggang ini sekarang sama seperti nasib suku Dayak di borneo yang semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri".